Ini Fiksi


Tubuh rentanya tersudut di dingin malam, tersendiri didalam keramaian.
Ia merintih, walaupun kurasa ia terlihat ingin menjerit. Menjerit kepada dunia, menyerukan kepada dunia bahwa tubuhnya tak lagi mampu mengimbangi semangat hidupnya.

Namun ia hanya merintih, didepan selembar kain sebagai alas dagangan kecilnya, ia bertahan.
Sesekali terbatuk menahan angin malam, sosok rentanya yg hanya terbalut pakaian sederhana dan kerudung nyaris tak terlihat di sela ramainya malam.
Namun malam ini, semangatnya untuk bertahan terlihat jelas dimataku. mengundangku untuk memperhatikannya, mencari pelajaran yg bisa kutarik dari potret nyata didepanku.

Dan aku tersadar, kuhadapi sosoknya untuk meminta maaf atas keegoisanku.
Kami berbicara cukup lama, walau pada awalnya ia tampak curiga kepadaku, namun dibalik jaketku, ia terus menjawab satu demi satu pertanyaanku.
Nadanya tak jelas terdengar, namun keikhlasannya jelas terasa.
Kami masih terus berbicara, sementara batang rokokku terasa semakin asin. hingga akhirnya kurasakan ketegaranku kalah beradu dengan ketegarannya.
Susah payah kukeluarkan suaraku utk berpamitan… dan sebaliknya, sekeras batu ia menolak pemberianku.

Kusadari ia bukan sosok yg menggantungkan hidupnya dari belas kasihan.
Sampai akhirnya kukatakan :
“Simpen yg ini aja ibu, buat ngebantu nahan dingin”
Seulas senyum terbersit diwajahnya, nyaris tak percaya kusaksikan rautnya bercahaya,
dan dalam kesejukan ia berkata : “maturnuwun gus, iki nggo sangu kowe sesuk”
Sembari menyerahkan sekantung plastik berisi beberapa lembar roti dagangannya.

Dan kini, kurasakan kupi yg luar biasa nikmat.. ditemani bbrp lembar roti. Dan penggalan lain pelajaran hidup. :)
——————————-
Iya, ini fiksi, bukan cerita cinta yg menghanyutkan.
Hanya sepenggal romantisme malam antara dua generasi yg terpaut.

Popular posts from this blog

Hakuna Matata... Madafaka!

U Mild U Bikers Festrack Modification Contest 2010

Pasukan Pantang Pulang Sebelum Maghrib!